Monthly Archives: February 2021

Sensor Tanah Sebagai Teknologi Pertanian 4.0

” Produksi hasil pertanian di Indonesia masih tergolong rendah, salah satu penyebabnya adalah rusaknya struktur kimia, fisik, dan biologis tanah. “

Tanah yang sudah mengalami kerusakan akan menjadi lahan kritis. Menurut Zain (1988) dalam Rosyada et al (2015), lahan kritis merupakan lahan yang fungsinya tidak efektif lagi untuk lahan pertanian, media penyimpanan air, pelindung alam dan lingkungan akibat terjadi kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis pada tanah. Lahan yang telah mengalami kerusakan sulit untuk mendukung kehidupan di atasnya sehingga tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan optimal.  Berdasarkan data yang dirilis oleh kementerian lingkungan hidup dan kehutanan pada tahun 2018, di Indonesia terdapat 14 juta hektar lahan kritis (Statistik KLHK, 2018). Munculnya lahan kritis disebabkan oleh pemanfaatan tanah secara berlebihan, pengelolaan tanah yang salah, dan alih fungsi lahan yang menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang akhirnya akan menjadi lahan kritis (Nugroho, 2000). Lahan yang sudah mengalami kerusakan perlu direhabilitasi agar sifat kimia, fisik, dan biologi tanah menjadi produktif. Namun, rehabilitasi lahan memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang relatif lama sehingga lebih baik mencegah terjadinya lahan kritis dengan mengelola tanah dengan bijak.

Pengelolaan tanah pertanian yang baik dapat meningkatakan produktivitas pertanian sehingga harus menjaga sifat fisik, kimia, dan biologis sehingga kesuburan tanah terjaga. Salah satu indikator tanah yang subur dapat dilihat dari aktivitas mikroba yang tinggi dalam mengurai zat-zat organik menjadi bentuk yang lebih sedehana dan bersifat koloid (Hardjowigeno et al, 2004). Pengelolaan tanah pertanian dengan cara mekanis (penggunaan traktor dan alat tanah lainya) dan penggunaan pupuk anorganik secara intensif dapat menurunkan kandungan organik dan porositas tanah (Nita et al, 2015). Penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) dapat meningkatkan hasil panen namun penggunaan secara terus menerus dapat memberi dampak negatif seperti pencemaran air dan tanah, mengurangi keanekaragaman hayati, hingga menurunkan hasil produksi pertanian (Setyorini et al, 2004). Hal tersebut terjadi akibat menurunya aktivitas mikroba dan organisme tanah. Sehingga pemberian agrokimia perlu dikaji sesuai dengan kondisi tanah (Saraswati et al, 2004). Salah satu solusi dari permasalahan tersebut yaitu menggunakan sensor tanah untuk mengukur dosis pupuk.

“Penggunaan sensor tanah dapat memberikan informasi mengenai heterogenitas sifat fisik, kimia, dan geospasial dari suatu lahan, sehingga input dapat diminimalkan dengan panen yang tinggi.”

Inovasi sensor tanah dapat membantu petani mendapat informasi untuk pertanian yang lebih presisi. Menurut Burton et al (2020), Penggunaan sensor tanah dapat memberikan informasi mengenai heterogenitas sifat fisik, kimia, dan geospasial dari suatu lahan, sehingga input dapat diminimalkan dengan panen yang tinggi. Di era pertanian presisi, banyak dikembangkan sensor tanah yang dapat mendeteksi pH, Salinitas, Kelembapan, Kandungan organik,  dan yang paling baru dapat mengukur Kandungan N, P, K dari tanah (Burton et al, 2020). Kelebihan sensor tanah adalah mampu memberikan data secara real-time sehingga petani tidak perlu melakukan pengujian di lab. Walaupun akurasi sensor tanah tidak seakurat uji lab, namun, data yang didapat cepat, kontinu, dan biaya yang dikeluarkan cenderung murah (Burton et al, 2020).

Aplikasi sensor tanah pada Precision Farming
(Sumber: www.nec.com/en/press/2014)

Sensor tanah bekerja dengan berbagai jenis sensor optik seperti laser-Induce Breakdown Spectroscopy (LIBS) untuk mendeteksi nutrisi tanah, Vis-NIR untuk pH dan Nutrisi tanah, Vis-MIR untuk Nitrogen, ATR Spec untuk nutrisi tanah, Raman untuk nutrisi tanah, ISE untuk pH dan nutrisi tanah, serta ISFET untuk pH dan nutrisi tanah (Burton et al, 2020; Erler et al, 2020). Secara umum cara kerja sensor-sensor tersebut adalah dengan mengukur nilai absorbansi sampel tanah setelah ditembak cahaya, kemudian nilai absorbansi yang didapat diidentifikasi untuk menentukan kuantitas dari nutrisi tertentu. Berbeda dengan sensor nutrisi tanah, sensor kelembaban tanah terdiri dari dua probe yang kemudian dialiri listrik untuk mengukur resistensi (Husdi, 2018). Pengaplikasian sensor tanah dapat dipadukan dengan IoT dimana data yang didapat dari sensor dapat langsung di unggah menuju cloud server untuk memberikan data secara real-time, yang kemudian dapat diunduh dan diolah. Dengan adanya data mengenai tanah secara real-time petani dapat memberikan pupuk dan penyiraman pada lahan secara presisi.  

Contoh pengaplikasian sensor tanah
(Sumber: Burton et al, 2020)
Konsep cara kerja sensor tanah
(Sumber: Burton et al, 2020)

Menarik sekali kan? Penggunaan sensor tanah tersebut terbukti memiliki berbagai potensi yang dapat membantu bidang pertanian. Maka dari itu, teknologi tersebut perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memadai untuk mendukung peningkatan produktivitas pertanian serta mewujudkan sistem pertanian pintar yang berkelanjutan.

Daftar Pustaka:

Nugroho, S. O. 2000. “Minimalisasi Lahan kritis Melalui Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Konservasi Tanah dan Air Secara Terpadu”. Jurnal Teknologi, 1(1): 73-82.

Statistik Kementerian Liungkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. “Luas dan Penyebaran Lahan Kritis Menurut Provinsi (Hektar), 2011-2018”. Online. https://www.bps.go.id/indicator/60/588/1/luas-lahan-kritis-menurut-provinsi-dan-tingkat-kekritisan-lahan.html, Diakses 15 Januari 2021.

Rosyada, M., Prasetyo, Y., dan Haniah, H. 2015. “Penentuan Tingkat Lahan Kritis Menggunakan Metobotan dan Algoritma NDVI (Studi Kasus: Sub DAS Garang Hulu)”. Jurnal Geodesi Undip, 4(1): 85-94.

Nita, C. E., Siswanto, B., dan Wani, H. U. 2015. “Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan ORganik (Blotong dan Abu Ketel) Terhadap Porositas Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Tebu pada Ultisol”. Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan, 2(1): 119-127.

Hardjowigeno, S., Subagyo, H., dan M. Luthfi R. 2004. Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Setyorini, D., Widowati, L. R., dan Sri R. 2004.  Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Saraswati, R., Prihatini, T., dan Ratih D. H. 2004.  Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Burton, L., Jayachandran, K., dan S. Bhansali. 2020. “Review-The Real-Time Revolution for IN Situ Soil Nutrient Sensing”. Journal of The Electrochemical Society, 167(3):1-9.

Erler, A., Riebe, D., Beitz, T., Löhmannsröben, H. G., dan Robin G. 2020. “Soil Nutrien Detection for Precision Agriculture Using Handheld Laser-Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS) and Multivariate Regression Methods (PLSR, Lasso and GPR)”. Sensors, 418(20): 3-17.

Husdi. 2018. “Monitoring Kelembaban Tanah Pertanian Menggunakan Soil Moisture Sensor FC-28 dan Arduino Uno”. Ilkom Jurnal Ilmiah, 10(2): 327-243.

Pertanian 4.0: Precision Irrigation for Better Future

Pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan air irigasi akan terus meningkat seiring meningkatnya proses produksi pangan, demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Memang, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya air yang melimpah sehingga tidak perlu khawatir akan kehabisan air. Namun, sumber daya air yang melimpah tersebut masih belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Hanya 20% sumber daya air yang sudah dimanfaatkan di Indonesia, dengan 80% untuk air irigasi dan sisanya untuk air baku rumah tangga, kota, dan industri. Precision irrigation merupakan suatu bahasan yang dewasa ini sudah banyak diterapkan di kalangan masyarakat di negara maju. Precision irrigation bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya air yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman agar air dunia tidak mengalami kelangkaan dan dapat terus digunakan hingga anak cucu kita kelak.

Gambar 1. Irigasi Lahan Pertanian 
(Sumber: agritechtomorrow.com)

Dewasa ini penerapan Internet of Things (IoT) mulai memiliki dampak pada sektor industri, salah satunya industri pertanian. Penerapan IoT ini bertujuan untuk mengurangi inefisiensi pada penggunaan sumber daya alam, misalnya air. IoT menawarkan berbagai kemampuan, mulai dari dasar infrastruktur komunikasi (digunakan untuk menghubungkan objek pintar – dari sensor dan kendaraan misalnya ke perangkat seluler pengguna menggunakan internet), berbagai layanan seperti akuisisi data jarak jauh , analisis informasi berbasis cloud, hingga otomasi sistem pertanian.

Penerapan IoT dalam sektor pertanian menjunjung tinggi prinsip pertanian presisi, yaitu manajemen pertanian berdasarkan pengamatan, pengukuran, dan respon berbagai variabel pertanian. Pertanian presisi atau precision farming bertujuan untuk mengoptimalkan input dan medapatkan hasil yang maksimal melalui pemanfaatan data lingkungan pertanian. Salah satu metode yang diterapkan dalam precision farming yaitu WSN (Wireless Sensor Networks). WSN merupakan salah satu jaringan nirkabel (wireless) yang berfungsi untuk menghubungkan antar node. WSN sendiri terdiri dari berbagai macam node yang tersebar pada suatu lokasi tertentu. Node sensor WSN memiliki kemampuan penginderaan dan kemampuan komputerisasi yang dapat merasakan parameter fisik, kemudian mengirimkan data yang dikumpulkan ke lokasi pusat menggunakan teknologi komunikasi nirkabel. Penerapan WSN dalam bidang pertanian diantaranya yaitu untuk melakukan monitoring suhu, kelembaban, dan kadar pH.
Gambar 2. Model WSN untuk Aplikasi Irigasi Presisi
(Sumber: researchgate.net)

Irigasi Presisi merupakan salah satu bagian dari pertanian presisi yang dapat menerapkan WSN. Dalam pengaplikasian WSN untuk irigasi presisi, WSN dapat mengkontrol melalui perangkat lunak berbasis IOS/Android dan juga dapat memonitor level irigasi. WSN dapat mengukur kuantitas air tanah melalui node yang ditempatkan di dekat perakaran tanaman. Setelah itu, hasil pengukuran WSN akan dikirimkan ke base station secara periodik. Base station merupakan sebuah infrastruktur yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antar perangkat komunikasi. Selanjutnya data akan diolah dan dimanfaatkan lebih lanjut untuk pengoperasian berikutnya.

Gambar 3. Smart Irrigation
(Sumber: radiocrafts.com)

Pada sistem irigasi berbasis WSN, data yang diperoleh dari lapangan akan dimanfaatkan untuk perhitungan kebutuhan air tanaman. Jumlah kebutuhan air yang akan digunakan dikalkulasikan seakurat mungkin dan tanaman akan diberikan sesuai dengan kebutuhannya agar dapat tumbuh secara optimal. Melalui metode WSN, petani dimudahkan karena dapat mengatur dan mengontrol level irigasi melalui perangkat lunak berbasis IOS/Android sehingga pemberian air lebih presisi dan efektif dalam memanfaatkan penggunaan sumber daya air.

REFERENSI

Firmansyah, A. 2016. Wireless Sensor Network untuk Mendukung Penerapan Sistem Pertanian Presisi pada Sistem Produksi Pertanian. [Online] http://smart-farming.tp.ugm.ac.id/2018/10/16/wireless-sensor-network-untuk-mendukung-penerapan-sistem-pertanian-presisi-pada-sistem-produksi-pertanian/. Diakses pada 17 Januari 2021. 

Işık, M. F., Sönmez, Y., Yılmaz, C., Özdemir, V., dan Yılmaz, E. N. 2017. “Precision Irrigation System (PIS) Using Sensor Network Technology Integrated with IOS/Android Application”. Applied Sciences, 7, 891: 1-14. 

Sutrisno, N. dan Hamdani, A. 2020. “Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Air untuk Meningkatkan Produksi Pertanian”. Jurnal Sumberdaya Lahan, 13(2): 73-88.

Tarmidi, Taqwa, A., dan Handayani, A. S. 2019. Penerapan Wireless Sensor Network sebagai Monitoring Lingkungan Berbasis Android. Seminar Nasional Inovasi dan Aplikasi Teknologi Industri (SENIATI) 2019: 224-230. Malang, 2 Februari 2019: Universitas Brawijaya.