Category Archives: Info Pertanian

Teknologi 5G dalam Bidang Pertanian

“5G Siap hadirkan teknologi canggih pada ranah pertanian yang memudahkan petani mengontrol lahan, memantau cuaca, dan kesehatan ternak”

– Novila Nuramalia dalam Whiteboard Journal

Sektor pertanian sebagai pilar penyedia pangan harus dapat memenuhi kebutuhan pangan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Integrasi pertanian dengan perkembangan teknologi serta penerapan otomasi dalam pertanian 4.0 dapat dimanfaatkan untuk melipatkan gandakan hasil produksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan. Bagaimanakah teknologi 5G diterapkan di rana pertanian?

Teknologi 5G merupakan generasi baru dari sistem radio dan arsitektur jaringan yang
menghadirkan konektivitas broadband, ultra-robust, low latency yang ekstrim dan
masif untuk manusia serta Internet of Things. Teknologi 5G dikabarkan dapat
menambah kecepatan hingga 100 kali lebih cepat dibanding 4G sehingga dapat membuat
komunikasi setiap perangkat dan server menjadi lebih cepat. Selain itu, teknologi jaringan 5G juga dapat menampung data yang lebih banyak dibanding model jaringan lainnya. Teknologi 5G dipersiapkan untuk menyediakan berbagai layanan untuk perangkat-perangkat jaringan heterogen yang mampu berkomunikasi satu sama lain. Dengan kata lain, Internet of Things (IoT) dan komunikasi Machine to Machine (M2M) berskala besar akan memanfaatkan sistem nirkabel 5G.

Gambar 1. Ilustrasi integrasi beberapa aspek pertanian menggunakan jaringan 5G
(Stefanovic, 2020)

Dalam bidang pertanian, teknologi ini sangat ideal untuk diterapkan karena dapat
meningkatkan kemampuan berkomunikasi antara remote, sensor, dan drone. Sensor dan
kecerdasan buatan memungkinkan petani dapat memantau pola cuaca dari jarak jauh, kesehatan ternak, hingga kondisi nutrisi tanah dengan mengambil beberapa data dari siklus alam. Selain itu, teknologi 5G ini dapat terintegrasi secara mandiri dengan
teknologi cloud komputasi yang membuat perlengkapan pertanian lebih efisien. Teknologi 5G juga sangat berperan dalam proses otomasi pada suatu sistem petanian.

Contoh dari penerapan teknologi 5G di bidang pertanian adalah penggunaan aplikasi bernama Me+Moo yang diinisiasi oleh Kerajaan Inggris. Aplikasi ini membantu peternak untuk melakukan pengecekan secara berkala terhadap sapi yang terhubung dengan teknologi kesehatan dan tingkah laku ternak. Sapi-sapi yang terkoneksi dengan ‘kerah’ 5G akan mengirim data ke aplikasi mengenai apa saja yang mereka konsumsi dan bagaimana kondisi saat tidur. Segala informasi tersebut dapat diakses secara praktis oleh peternak melalui aplikasi Me+Moo. Tidak hanya itu, informasi penting tersebut akan diteruskan ke para ahli gizi untuk mendapat dukungan lebih lanjut.

Gambar 2. Sapi-sapi yang dilengkapi dengan ‘kerah’ 5G
(CNN Business, 2019)

Organisasi Pertanian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi bahwa bumi akan
mengalami gejolak pertumbuhan populasi. Oleh karena itu, bumi harus mampu memproduksi makanan 70% lebih banyak di tahun 2050 dibandingkan pada tahun 2009. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, petani membutuhkan teknologi baru untuk memproduksi lebih banyak pada lahan yang lebih sedikit, dengan tenaga yg lebih sedikit sehingga sangat diperlukan adanya otomatisasi teknologi.

Pada tahun 2017, muncul sebuah proyek “Hands-Free Hectare” dengan menggunakan teknologi 5G di pedesaan yang mampu menanam, merawat hinga memanen tanaman tanpa campur tangan manusia di lahan. Dari mulai penyebaran bibit menggunakan traktor, drone yang memonitorisasi lahan, penggunaan beberapa perangkat kecil dalam mengambil sample lahan untuk mendeteksi pupuk atau pestisida apa yang harus diaplikasikan pada lahan tersebut.

Teknlogi 5G dipercaya dapat memberikan perubahan besar serta kemajuan pesat dalam ranah pertanian. Penerapan teknologi 5G diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dalam sistem pertanian serta meningkatkan hasil produksi dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan.

Referensi

Nuramalia, N. 2019. 5G Siap Hadirkan Teknologi Canggih pada Ranah Pertanian. [Online].
https://www.whiteboardjournal.com/ideas/media/5g-siap-hadirkan-teknologi-canggih-
padaranah- pertanian/. Diakses pada 03 Februari pukul 15.00 WIB.
Nurmawiya., Kurniawan, R. 2018. “Analisis Kesiapan Petani Dalam Menghadapi Era
Revolusi Industri 4.0 (Studi Kasus Provinsi Di Yogyakarta)”. Prosiding Seminar
Pembangunan Pertanian III, 165-172.
Pak Tani Digital. 2019. Bagaimana Teknologi 5G Akan Mengubah Ranah Pertanian. [Online].
https://paktanidigital.com/artikel/teknologi-5g-dalam-pertanian/#.YBunOOgzbIW.
Diakses pada 03 Februari pukul 13.00 WIB.
Zulpratita, U. S. 2018. “Kunci Teknologi 5G”. Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Terapan,
4(2): 166-173.

Sensor Tanah Sebagai Teknologi Pertanian 4.0

” Produksi hasil pertanian di Indonesia masih tergolong rendah, salah satu penyebabnya adalah rusaknya struktur kimia, fisik, dan biologis tanah. “

Tanah yang sudah mengalami kerusakan akan menjadi lahan kritis. Menurut Zain (1988) dalam Rosyada et al (2015), lahan kritis merupakan lahan yang fungsinya tidak efektif lagi untuk lahan pertanian, media penyimpanan air, pelindung alam dan lingkungan akibat terjadi kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis pada tanah. Lahan yang telah mengalami kerusakan sulit untuk mendukung kehidupan di atasnya sehingga tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan optimal.  Berdasarkan data yang dirilis oleh kementerian lingkungan hidup dan kehutanan pada tahun 2018, di Indonesia terdapat 14 juta hektar lahan kritis (Statistik KLHK, 2018). Munculnya lahan kritis disebabkan oleh pemanfaatan tanah secara berlebihan, pengelolaan tanah yang salah, dan alih fungsi lahan yang menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang akhirnya akan menjadi lahan kritis (Nugroho, 2000). Lahan yang sudah mengalami kerusakan perlu direhabilitasi agar sifat kimia, fisik, dan biologi tanah menjadi produktif. Namun, rehabilitasi lahan memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang relatif lama sehingga lebih baik mencegah terjadinya lahan kritis dengan mengelola tanah dengan bijak.

Pengelolaan tanah pertanian yang baik dapat meningkatakan produktivitas pertanian sehingga harus menjaga sifat fisik, kimia, dan biologis sehingga kesuburan tanah terjaga. Salah satu indikator tanah yang subur dapat dilihat dari aktivitas mikroba yang tinggi dalam mengurai zat-zat organik menjadi bentuk yang lebih sedehana dan bersifat koloid (Hardjowigeno et al, 2004). Pengelolaan tanah pertanian dengan cara mekanis (penggunaan traktor dan alat tanah lainya) dan penggunaan pupuk anorganik secara intensif dapat menurunkan kandungan organik dan porositas tanah (Nita et al, 2015). Penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) dapat meningkatkan hasil panen namun penggunaan secara terus menerus dapat memberi dampak negatif seperti pencemaran air dan tanah, mengurangi keanekaragaman hayati, hingga menurunkan hasil produksi pertanian (Setyorini et al, 2004). Hal tersebut terjadi akibat menurunya aktivitas mikroba dan organisme tanah. Sehingga pemberian agrokimia perlu dikaji sesuai dengan kondisi tanah (Saraswati et al, 2004). Salah satu solusi dari permasalahan tersebut yaitu menggunakan sensor tanah untuk mengukur dosis pupuk.

“Penggunaan sensor tanah dapat memberikan informasi mengenai heterogenitas sifat fisik, kimia, dan geospasial dari suatu lahan, sehingga input dapat diminimalkan dengan panen yang tinggi.”

Inovasi sensor tanah dapat membantu petani mendapat informasi untuk pertanian yang lebih presisi. Menurut Burton et al (2020), Penggunaan sensor tanah dapat memberikan informasi mengenai heterogenitas sifat fisik, kimia, dan geospasial dari suatu lahan, sehingga input dapat diminimalkan dengan panen yang tinggi. Di era pertanian presisi, banyak dikembangkan sensor tanah yang dapat mendeteksi pH, Salinitas, Kelembapan, Kandungan organik,  dan yang paling baru dapat mengukur Kandungan N, P, K dari tanah (Burton et al, 2020). Kelebihan sensor tanah adalah mampu memberikan data secara real-time sehingga petani tidak perlu melakukan pengujian di lab. Walaupun akurasi sensor tanah tidak seakurat uji lab, namun, data yang didapat cepat, kontinu, dan biaya yang dikeluarkan cenderung murah (Burton et al, 2020).

Aplikasi sensor tanah pada Precision Farming
(Sumber: www.nec.com/en/press/2014)

Sensor tanah bekerja dengan berbagai jenis sensor optik seperti laser-Induce Breakdown Spectroscopy (LIBS) untuk mendeteksi nutrisi tanah, Vis-NIR untuk pH dan Nutrisi tanah, Vis-MIR untuk Nitrogen, ATR Spec untuk nutrisi tanah, Raman untuk nutrisi tanah, ISE untuk pH dan nutrisi tanah, serta ISFET untuk pH dan nutrisi tanah (Burton et al, 2020; Erler et al, 2020). Secara umum cara kerja sensor-sensor tersebut adalah dengan mengukur nilai absorbansi sampel tanah setelah ditembak cahaya, kemudian nilai absorbansi yang didapat diidentifikasi untuk menentukan kuantitas dari nutrisi tertentu. Berbeda dengan sensor nutrisi tanah, sensor kelembaban tanah terdiri dari dua probe yang kemudian dialiri listrik untuk mengukur resistensi (Husdi, 2018). Pengaplikasian sensor tanah dapat dipadukan dengan IoT dimana data yang didapat dari sensor dapat langsung di unggah menuju cloud server untuk memberikan data secara real-time, yang kemudian dapat diunduh dan diolah. Dengan adanya data mengenai tanah secara real-time petani dapat memberikan pupuk dan penyiraman pada lahan secara presisi.  

Contoh pengaplikasian sensor tanah
(Sumber: Burton et al, 2020)
Konsep cara kerja sensor tanah
(Sumber: Burton et al, 2020)

Menarik sekali kan? Penggunaan sensor tanah tersebut terbukti memiliki berbagai potensi yang dapat membantu bidang pertanian. Maka dari itu, teknologi tersebut perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memadai untuk mendukung peningkatan produktivitas pertanian serta mewujudkan sistem pertanian pintar yang berkelanjutan.

Daftar Pustaka:

Nugroho, S. O. 2000. “Minimalisasi Lahan kritis Melalui Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Konservasi Tanah dan Air Secara Terpadu”. Jurnal Teknologi, 1(1): 73-82.

Statistik Kementerian Liungkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. “Luas dan Penyebaran Lahan Kritis Menurut Provinsi (Hektar), 2011-2018”. Online. https://www.bps.go.id/indicator/60/588/1/luas-lahan-kritis-menurut-provinsi-dan-tingkat-kekritisan-lahan.html, Diakses 15 Januari 2021.

Rosyada, M., Prasetyo, Y., dan Haniah, H. 2015. “Penentuan Tingkat Lahan Kritis Menggunakan Metobotan dan Algoritma NDVI (Studi Kasus: Sub DAS Garang Hulu)”. Jurnal Geodesi Undip, 4(1): 85-94.

Nita, C. E., Siswanto, B., dan Wani, H. U. 2015. “Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan ORganik (Blotong dan Abu Ketel) Terhadap Porositas Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Tebu pada Ultisol”. Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan, 2(1): 119-127.

Hardjowigeno, S., Subagyo, H., dan M. Luthfi R. 2004. Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Setyorini, D., Widowati, L. R., dan Sri R. 2004.  Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Saraswati, R., Prihatini, T., dan Ratih D. H. 2004.  Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Burton, L., Jayachandran, K., dan S. Bhansali. 2020. “Review-The Real-Time Revolution for IN Situ Soil Nutrient Sensing”. Journal of The Electrochemical Society, 167(3):1-9.

Erler, A., Riebe, D., Beitz, T., Löhmannsröben, H. G., dan Robin G. 2020. “Soil Nutrien Detection for Precision Agriculture Using Handheld Laser-Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS) and Multivariate Regression Methods (PLSR, Lasso and GPR)”. Sensors, 418(20): 3-17.

Husdi. 2018. “Monitoring Kelembaban Tanah Pertanian Menggunakan Soil Moisture Sensor FC-28 dan Arduino Uno”. Ilkom Jurnal Ilmiah, 10(2): 327-243.

Pertanian 4.0: Precision Irrigation for Better Future

Pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan air irigasi akan terus meningkat seiring meningkatnya proses produksi pangan, demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Memang, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya air yang melimpah sehingga tidak perlu khawatir akan kehabisan air. Namun, sumber daya air yang melimpah tersebut masih belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Hanya 20% sumber daya air yang sudah dimanfaatkan di Indonesia, dengan 80% untuk air irigasi dan sisanya untuk air baku rumah tangga, kota, dan industri. Precision irrigation merupakan suatu bahasan yang dewasa ini sudah banyak diterapkan di kalangan masyarakat di negara maju. Precision irrigation bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya air yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman agar air dunia tidak mengalami kelangkaan dan dapat terus digunakan hingga anak cucu kita kelak.

Gambar 1. Irigasi Lahan Pertanian 
(Sumber: agritechtomorrow.com)

Dewasa ini penerapan Internet of Things (IoT) mulai memiliki dampak pada sektor industri, salah satunya industri pertanian. Penerapan IoT ini bertujuan untuk mengurangi inefisiensi pada penggunaan sumber daya alam, misalnya air. IoT menawarkan berbagai kemampuan, mulai dari dasar infrastruktur komunikasi (digunakan untuk menghubungkan objek pintar – dari sensor dan kendaraan misalnya ke perangkat seluler pengguna menggunakan internet), berbagai layanan seperti akuisisi data jarak jauh , analisis informasi berbasis cloud, hingga otomasi sistem pertanian.

Penerapan IoT dalam sektor pertanian menjunjung tinggi prinsip pertanian presisi, yaitu manajemen pertanian berdasarkan pengamatan, pengukuran, dan respon berbagai variabel pertanian. Pertanian presisi atau precision farming bertujuan untuk mengoptimalkan input dan medapatkan hasil yang maksimal melalui pemanfaatan data lingkungan pertanian. Salah satu metode yang diterapkan dalam precision farming yaitu WSN (Wireless Sensor Networks). WSN merupakan salah satu jaringan nirkabel (wireless) yang berfungsi untuk menghubungkan antar node. WSN sendiri terdiri dari berbagai macam node yang tersebar pada suatu lokasi tertentu. Node sensor WSN memiliki kemampuan penginderaan dan kemampuan komputerisasi yang dapat merasakan parameter fisik, kemudian mengirimkan data yang dikumpulkan ke lokasi pusat menggunakan teknologi komunikasi nirkabel. Penerapan WSN dalam bidang pertanian diantaranya yaitu untuk melakukan monitoring suhu, kelembaban, dan kadar pH.
Gambar 2. Model WSN untuk Aplikasi Irigasi Presisi
(Sumber: researchgate.net)

Irigasi Presisi merupakan salah satu bagian dari pertanian presisi yang dapat menerapkan WSN. Dalam pengaplikasian WSN untuk irigasi presisi, WSN dapat mengkontrol melalui perangkat lunak berbasis IOS/Android dan juga dapat memonitor level irigasi. WSN dapat mengukur kuantitas air tanah melalui node yang ditempatkan di dekat perakaran tanaman. Setelah itu, hasil pengukuran WSN akan dikirimkan ke base station secara periodik. Base station merupakan sebuah infrastruktur yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antar perangkat komunikasi. Selanjutnya data akan diolah dan dimanfaatkan lebih lanjut untuk pengoperasian berikutnya.

Gambar 3. Smart Irrigation
(Sumber: radiocrafts.com)

Pada sistem irigasi berbasis WSN, data yang diperoleh dari lapangan akan dimanfaatkan untuk perhitungan kebutuhan air tanaman. Jumlah kebutuhan air yang akan digunakan dikalkulasikan seakurat mungkin dan tanaman akan diberikan sesuai dengan kebutuhannya agar dapat tumbuh secara optimal. Melalui metode WSN, petani dimudahkan karena dapat mengatur dan mengontrol level irigasi melalui perangkat lunak berbasis IOS/Android sehingga pemberian air lebih presisi dan efektif dalam memanfaatkan penggunaan sumber daya air.

REFERENSI

Firmansyah, A. 2016. Wireless Sensor Network untuk Mendukung Penerapan Sistem Pertanian Presisi pada Sistem Produksi Pertanian. [Online] http://smart-farming.tp.ugm.ac.id/2018/10/16/wireless-sensor-network-untuk-mendukung-penerapan-sistem-pertanian-presisi-pada-sistem-produksi-pertanian/. Diakses pada 17 Januari 2021. 

Işık, M. F., Sönmez, Y., Yılmaz, C., Özdemir, V., dan Yılmaz, E. N. 2017. “Precision Irrigation System (PIS) Using Sensor Network Technology Integrated with IOS/Android Application”. Applied Sciences, 7, 891: 1-14. 

Sutrisno, N. dan Hamdani, A. 2020. “Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Air untuk Meningkatkan Produksi Pertanian”. Jurnal Sumberdaya Lahan, 13(2): 73-88.

Tarmidi, Taqwa, A., dan Handayani, A. S. 2019. Penerapan Wireless Sensor Network sebagai Monitoring Lingkungan Berbasis Android. Seminar Nasional Inovasi dan Aplikasi Teknologi Industri (SENIATI) 2019: 224-230. Malang, 2 Februari 2019: Universitas Brawijaya.

Pertanian 4.0: GIS, Kunci Keberhasilan Industri Pertanian Masa Kini

Indonesia merupakan negara agraris

Kalimat diatas merupakan kalimat yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Ya, Indonesia memang dikenal dengan negara agraris karena sebagian besar mata pencaharian penduduknya merupakan petani hingga nelayan. Pembangunan sektor pertanian di Indonesia bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, penunjang perekonomian, dan ketahanan pangan nasional. Namun, sebagian besar petani Indonesia masih menggunakan cara atau metode tradisional dalam mengelola lahan pertanian sehingga hasil yang diperoleh pun hanya mencukupi skala rumah tangga dan belum optimal untuk dipasarkan dalam skala besar.

Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman membuat para ahli dan para peneliti membuat suatu terobosan baru untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian.

Sistem Informasi Geospasial merupakan suatu sistem atau sekumpulan objek, ide yang saling berhubungan (inter-relasi) yang bertujuan dan bersasaran untuk menampilkan informasi geografis sehingga dapat menjadi suatu teknologi perangkat lunak  sebagai alat bantu untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, analisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan keruangan (Munir, 2012).

Sistem Informasi Geospasial atau biasa disebut dengan SIG/GIS mampu menampilkan pemetaan lahan dan pengaplikasiannya dapat digunakan untuk merekayasa sistem pertanian, baik dari aspek lahan hingga mengoptimalkan hasil produksi pertanian. Software yang biasa digunakan untuk analisis SIG yaitu ArcGIS dan Google MyMaps.

ArcGIS merupakan software yang dikembangkan oleh ESRI (Environmental System Research Institute) yang terdiri dari beberapa software bawaan lain seperti Desktop GIS, Server GIS, Online GIS, ESRI Data, dan Mobile GIS. Menurut Bappeda (2013), ArcGIS Desktop terdiri dari beberapa software yaitu:

  • ArcMap, berfungsi untuk mengolah, menampilkan, memilih, editing, composing, dan publishing peta
  • ArcCatalog, berfungsi untuk mengatur data spasial yang digunakan dalam pekerjaan SIG, beberapa tools yang terdapat dalam ArcCatalog diantaranya browsing, organizing, distribution, dan documentation data SIG.
  • ArcGlobe, berfungsi untuk menampilkan peta secara 3D ke dalam globe yang dihubungkan dengan internet.
  • ArcScene, berfungsi untuk mengolah dan menampilkan peta ke dalam bentuk 3D.
  • ArcToolBox, berfungsi sebagai tools dalam melakukan analisis keruangan
Sumber: https://desktop.arcgis.com/en/arcmap/10.3/main/map/mapping-and-visualization-in-arcgis-for-desktop.htm

Google MyMaps merupakan alat yang dapat membantu untuk membuat dan mengedit peta khusus dari ponsel Android dengan aplikasi Google My Maps ataupun melalui website. Fungsi dari Google My Maps diantaranya yaitu membuat peta baru atau mengedit peta yang telah dibuat di web atau perangkat lain, menelusuri tempat dan disimpan ke peta pada akun tersebut, menambahkan titik pada lokasi Anda saat ini atau tempat lainnya di dunia, mendapatkan petunjuk arah dan navigasikan ke tempat tersimpan di peta yang telah dibuat.

Sumber: https://www.storybench.org/how-to-map-with-google-my-maps/
Sebagai Negara Agraris, sektor pertanian dalam Indonesia dituntut untuk berperan lebih dalam menyediakan bahan sandang, pangan, dan papan bagi masyarakat guna memenuhi kebutuhannya. Selain itu, sektor pertanian juga dituntut untuk dapat menyediakan lapangan pekerjaan dan juga meningkatkan pendapatan masyarakat agar masyarakat dapat terhindar dari garis kemiskinan. Oleh karena itu, dewasa ini mulai banyak digunakan GIS sebagai salah satu tools untuk menjadikan sektor pertanian lebih maju dari sebelumnya sehingga Indonesia dapat menghadapi Era Revolusi 4.0 dunia.
http://sulsel.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/publikasi/buletin/53-buletin-nomor-6-tahun-2012/252-peranan-geographic-information-system-gis-dalam-perencanaan-pengembangan-pertanian

Aplikasi GIS pada bidang pertanian dapat digunakan pada bidang perencanaan, diantaranya:

(1) Perencanaan Pengelola Produksi Tanaman, GIS dapat digunakan untuk membantu perencanaan pengelolaan sumberdaya pertanian dan perkebunan seperti luas kawasan untuk budidaya dan saluran air, menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi tanam, dan melakukan perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah yang terjadi;

(2) Perencanaan Pengelola Sistem Irigasi, GIS dapat digunakan untuk membantu perencanaan irigasi pada tanah-tanah pertanian. GIS dapat membantu perencanaan kapasitas sistem, katup-katup, efisiensi, serta perencanaan distribusi menyeluruh dari air di dalam sistem. Selain itu, GIS juga dapat digunakan untuk memetakan hasil produksi, pengendalian hama dan penyakit, serta penetapan masa panen dan luas panen.

Kesimpulan:

Sistem Informasi Geospasial merupakan suatu sistem informasi khusus yang berfungsi untuk mengelola data yang memiliki informasi spasial. Pemanfaatan teknologi GIS dapalam bidang pertanian dapat mempermudah petani dan pemerintah untuk mengolah lahan secara efektif dan terperinci sesuai dengan potensi optimal lahan tersebut. Selain itu, penerapan GIS juga dapat mempermudah petani dalam menentukan masa panen dan luas panen komoditas yang ia tanam sehingga profit yang akan ia dapatkan dapat di estimasi. Contoh tools yang dapat digunakan yaitu ArcGIS dan MyMaps untuk menganalisis kesesuaian lahan pertanian dengan metode skoring berdasarkan parameter-parameter yang telah ditentukan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • Bappeda. (2013). Pengantar ArcGIS. [Online] https://bappeda.ntbprov.go.id/wp-
    content/uploads/2013/09/Bab02_PengantarArcGIS10.pdf . Diakses pada 26 November 2020
  • Herniwati. (2018). Peranan Geographic Information System (GIS) Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian. [Online] Website: http://sulsel.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/publikasi/buletin/53-buletin-nomor-6-tahun-2012/252-peranan-geographic-information-system-gis-dalam-perencanaan-pengembangan-pertanian. Diakses pada tanggal 5 Januari 2021.
  • Munir, A. Q. (2012). Implementasi Sistem Informasi Geografis Penentuan Jalur Jalan Optimum Kodya Yogyakarta Mengunakan Algoritma Dijkstra. Jurnal Teknologi Informasi, 7(20): 33-50.

Pertanian 4.0: Membangun Usaha Pertanian Masa Kini

Dunia saat ini telah memasuki era revolusi industri yang ke-4 atau disebut juga Industri 4.0. Begitu juga dengan sektor pertanian yang mulai memasuki era Pertanian 4.0. Oleh sebab itu, sektor pertanian perlu beradaptasi untuk menjawab tantangan masa depan dengan menggenjot produktivitas pertanian. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membangun bisnis berbasis pertanian.

            Usaha bisnis berbasis pertanian belakangan ini bermunculan di Indonesia. Peristiwa ini dapat terjadi karena kehadiran usaha pertanian memiliki peran yang strategis dalam pembangunan nasional, khususnya dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil tani, menjamin ketahanan dan keamanan pangan. Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi yang luar biasa karena memiliki sumber daya alam yang mendukung serta tingkat konsumsi bahan pangan hasil pertanian yang terus-menerus meningkat seiring berjalannya waktu.

            Bagaimanapun juga, merintis bisnis pertanian bukanlah hal yang mudah. Buktinya, banyak perusahaan pertanian ‘masa lalu’ yang gagal beradaptasi dengan cara bisnis kekinian dan mengalami kerugian. Namun, ada juga perusahaan-perusahaan berbasis pertanian yang berhasil merintis bisnis pertanian masa kini dengan implementasi Pertanian 4.0. Kami akan mengajak anda untuk memahami lebih dalam apa yang dibutuhkan bagi bisnis-bisnis pertanian ini untuk bisa survive dengan bisnis kekinian.

Di era Pertanian 4.0 ini, mari kita simak beberapa karakteristik perusahaan yang mampu bertahan dengan cara bisnis kekinian:

1. Manajemen Perusahaan

Manajemen Perusahaan adalah proses dalam membuat suatu perencanaan, penyusunan, pengendalian serta memimpin operasi perusahaan dengan menggunakan seluruh sumberdaya untuk mencapai tujuan perusahaan. Manajemen perusahaan tidak lepas dari fungsi-fungsi manajemen yang meliputi fungsi Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pengendalian (Controlling), Pengarahan (Dirrecting).

2. Membentuk Team Perusahaan

            Menentukan posisi-posisi yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan perusahaan. Dalam menentukan posisi, masing-masing bagian sebaiknya diisi oleh personel yang kompeten dan cakap di bidangnya. Team perusahaan juga harus memiliki budaya kerja yang telah ditentukan Bersama-sama sebagai salah satu acuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di perusahaan.

3. Pandai Melihat Peluang Pertanian Masa Kini / Tren Market

            Sebuah perusahaan di bidang pertanian harus sigap dan up to date mengenai perkembangan pasar pertanian. Hal ini dapat dicapai dengan memantau data-data actual dan factual seputar produk pertanian, kebutuhan akan sayur mayur, pertambahan penduduk, dan persaingan produk local dengan produk luar negri.

4. Menyesuaikan Usaha Pertanian dengan Kondisi Pasar

            Salah satu bentuk adaptasi terhadap pertanian 4.0 adalah bagaimana mengolah produk pertanian agar sesuai dengan kondisi pasar. Hal ini dapat dicapai melalui marketing berbasis iptek dan internet. Selain itu, perusahaan harus proaktif dalam memproduksi produk turunan dan menjaga lingkungan lahan pertanian agar mendapat produk yang terdiversifikasi.

5. Memasarkan Produk Pertanian ke Supermarket

            Supermarket merupakan salah satu target market yang sangat potensial sebab pola konsumsi masyarakat saat ini seringkali menggunakan supermarket sebagai sarana belanja. Agar dapat bersaing di supermarket maka produk harus dikemas secara menarik. Armada pengiriman juga hal yang harus disiapkan agar supermarket mendapat supply yang konstan.

Membangun Start-up di Bidang Pertanian

Startup merupakan istilah perusahaan bisnis pemula yang bekerja untuk memecahkan masalah dimana solusinya tidak jelas dan kesuksesannya tidak dijamin. Berkaitan dengan hal tersebut, di Indonesia banyak permasalahan pada sektor pertanian. Hal ini membuka peluang yang besar bagi startup untuk memecahkan persoalan tersebut. Oleh karena itu perlu untuk bisnis startup ini digalakkan di Indonesia, khususnya pada sektor pertanian.

            Merintis start-up dapat dimulai dengan prinsip POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling). Planning dimulai dengan analisis SWOT, kemudian menemukan ide dan alasan dibalik bisnis yang nantinya akan menjadi visi dan misi perusahaaan. Kemudian, organizing menuntut bisnis untuk menempatkan invididu dan sumber daya fisik lain dalam upaya menerjemahkan rencana ke dalam suatu aksi yang nyata. Proses ini menghasilkan pembagian divisi dengan jobdesc tertentu. Selanjutnya, actuating atau aktualisasi merupakan implementasi rencana dalam bentuk aksi dengan rencana matang dilengkapi oleh SOP yang sudah ditetapkan. Tahap aktualisasi menuntut setiap anggota perusahaan untuk berkolaborasi. Terakhir, controlling yaitu memastikan alur kerja bisnis akan sesuai rencana, hal ini dilakukan supaya aktivitas bisnis tetap eksis dan berjalan lainnya[1]

                    Tidak tertinggal juga kemampuan manajemen diperlukan dalam merintnis start-up. terdapat lima unsur manajemen (5M) saling terikat satu dengan yang lain yang mana dapat diaplikasikan pada startup, yaitu:

  1.  Man: Keterlibatan manusia sebagai penggerak yang memiliki peranan, pikiran, harapan serta gagasan.
  2. Money: Dana yang memadai.
  3. Material: Benda atau bahan mentah yang dibutuhkan dalam membuat sesuatu.
  4. Machines: Mesin kerja yang digunakan dalam proses produksi.
  5. Method: Prosedur, cara kerja yang ditetapkan oleh sebuah organisasi.

Terdapat pula beberapa metode dan gagasan yang mampu membantu perusahaaan start-up dalam memulai bisnisnya khususnya di era Pertanian 4.0, diantaranya:

  1. Digital Marketing

            Digital marketing merupakan salah satu metode komunikasi pemasaran yang memudahkan pebisnis untuk memantau dan menyediakan kebutuhan konsumennya agar konsumen dapat dengan lebih leluasa mencari dan memperoleh informasi produk yang dibutuhkan atau diinginkan[2]

            Penulisan naskah dalam memasarkan produk merupakan aspek yang penting dalam digital marketing. Seni penulisan naskah secara efektif disebut dengan copy writing. Konsep dasar yang mula-mula perlu diterapkan pada copy writing yaitu ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Amati yaitu pengamatan terhadap jenis tulisan yang digunakan kompetitor. Pengamatan mencakup produk, strategi pemasaran, dan lainnya. Tiru berarti mencari kelebihan, kekurangan, peluang, dan ancaman dari kompetitor untuk dijadikan bahan referensi. Modifikasi berarti memodifikasi konsep yang telah diperoleh dari kedua tahap sebelumnya[2].

            Ada beberapa tahapan dari copy writing perlu dipahami. Pertama, riset mengenali kompetitor dan diri sendiri. Kedua, perumusan masalah yaitu menerapkan hasil riset dengan memadukan gaya perusahaan sehingga adanya originalitas. Ketiga, pengembangan naskah, yakni naskah harus mengandung elemen yang ingin diterapkan. Headline yang digunakan harus mengandung 5W + 1H. Keempat, memperluas topik pembahasan.  Ada 4 cara untuk megembangkan topik yaitu eksplorasi kemampuan, bercerita, memancing imajinasi, dan menggunakan kata-kata autentik[2].

2. Metode OKR (Objective and Key Results)

            Dalam mengukur performa kerja, objectives and key results atau OKR adalah satu cara yang saat ini marak digunakan. Tools ini menggambarkan tujuan tim dan perusahaan serta sejauh mana tujuan tersebut telah tercapai. Objectives bersifat kualitatif, sedangkan key results bersifat kuantitatif dan setidaknya berjumlah 3 buah. Objektif / tujuan yang dibuat harus kualitatif, inspirasional, time-bound, serta dapat dikerjakan secara independen oleh perusahaan. Key results berupa kuantifikasi dari objektif yang telah dibuat sebelumnya agar key results yang dibuat dapat memastikan objektif terpenuhi dengan baik[3].

[1] Trustvation. (2020, Oktober 8). Memahami kaitan POAC dalam Manajemen Bisnis.[Online]: Diambil dari https://trusvation.com/memahami-kaitan-poac-dalam-manajemen-bisnis/

[2] Martin, D. (2020). Seni Penulisan Efektif untuk Digital Marketing : Bagaimana Kata-kata yang Tepat Dapat Meningkatkan Penjualan & Brand Kamu. Asosiasi Digital Marketing Indonesia.

[3] Wodtke, C. (2016). Introduction to OKRs. O’Reilly Media.

Internet of Things (IoT) dalam Industri Pertanian 4.0

Memasuki era industri 4.0, tanpa disadari tentunya IoT sudah bukan suatu hal yang asing lagi bagi kita. Internet of Things atau sering disebut IoT adalah sebuah gagasan dimana objek tertentu mempunyai kemampuan untuk dapat berkomunikasi satu dengan yang lain sebagai bagian dari satu kesatuan sistem terpadu menggunakan jaringan internet sebagai penghubung tanpa memerlukan adanya interaksi dari manusia ke manusia ataupun dari manusia ke perangkat komputer[1]. Dalam konsep IoT, berbagai perangkat dapat saling terhubung melalui internet. Teknologi ini dapat memudahkan dalam pengintegrasian perangkat-perangkat yang digunakan dalam seluruh bidang, termasuk pertanian.

Manfaat IoT

Berikut merupakan manfaat yang dapat diperoleh melalui penerapan IoT:

  1. Konektivitas. Melalui IoT, kita dapat mengoperasikan banyak hal dari satu perangkat misalnya smartphone.
  2. Efisiensi. Dengan peningkatan konektivitas, terdapat penurunan jumlah waktu yang biasanya dihabiskan untuk melakukan tugas yang sama.
  3. Kemudahan. Dengan penerapan IoT, tidak perlu mengoperasikan suatu perangkat secara manual serta dapat mempermudah suatu aktivitas.[2] 

Setelah mengetahui manfaat dari IoT, penerapan IoT seperti apa ya yang dapat diaplikasikan ke bidang pertanian? Berikut kami paparkan beberapa penerapan IoT dalam bidang pertanian:

Precision Farming dengan Sensor Pertanian Terintegrasi

Precision farming merupakan konsep pertanian dengan keakuratan sesuai kondisi lapangan. Penerapan Precision farming dengan sensor yang terhubung IoT dapat memaksimalkan akurasi dikarenakan data yang didapat secara real time. Konsep precision farming telah diterapkan di daerah Sukabumi pada tahun 2019. Program ini didirikan Mitra Sejahtera Bangsa (MSMB) dengan bantuan Asian Development Bank dan Bappenas. Pengaplikasian ini menggunakan 20 sensor (diantaranya sensor tanah, cuaca, dan debit air) yang terhubung dengan internet.

Agricultural Drone

Penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau yang lebih dikenal dengan drone merupakan inovasi yang sudah mulai sering digunakan. Menurut Putranto dan Dini (2018)[3], Sistem drone berfungsi sebagai pemetaan kondisi pertanian (irigasi, kondisi tanaman, pelacakan hewan), dan sebagai penyemprot pestisida maupun pupuk. Penggunaan drone dapat meningkatkan presisi penyemprotan dan pemetaan serta menghemat waktu karena petani tidak perlu langsung turun ke lapangan.

Smart Greenhouse

Tanaman yang ditanaman di rumah kaca bertujuan agar dapat terisolasi dari lingkungan luar sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pengaplikasian sensor ini dapat membantu menjaga lingkungan greenhouse mendukung pertumbuhan tanaman. Sensor lingkungan (suhu, kelembaban ruangan dan tanah, intensitas cahaya ) yang terhubung dengan internet dapat menyediakan data real time sehingga akan memudahkan perawatan[4].

Penerapan IoT dalam pertanian ternyata sangat menarik bukan? Dilihat secara keseluruhan, penerapan IoT dalam pertanian ini ternyata sangat membantu terutama dalam hal perawatan agar tanaman pertanian dapat tetap terjaga kualitasnya sehingga dapat menghasilkan hasil pertanian yang efektif. Namun di Indonesia sendiri penggunaan IoT masih memiliki pro dan kontra seperti di bawah ini:

Pro :

  • Praktis, cukup dengan satu sistem kendali, banyak aspek dapat dikendalikan seperti suhu, kelembaban, pemberian air, dll.
  • Dapat meningkatkan efisiensi produksi
  • Pertumbuhan dan produksi tanaman dapat dipantau secara real time
  • Memudahkan dalam perawatan tanaman.

Kontra :

  • Petani sulit merubah kebiasaan lama. Terbiasa dengan pola budidaya konvensional
  • Memerlukan modal awal yang besar
  • Butuh pelatihan penggunaan teknologi kepada petani
  • Adanya stigma bahwa pekerjaan petani akan digantikan mesin, sehingga petani merasa takut terhadap perubahan teknologi.

Berdasarkan pro dan kontra di atas terkait penggunaan IoT dalam pertanian, maka kita perlu membuat stratetegi penting agar kedepannya kita dapat mengembangkan dan memaksimalkan potensi pertanian dengan IoT. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Perlu penerapan multidisiplin ilmu
  • Regenerasi petani muda yang paham teknologi
  • Membangun komunikasi yang baik dengan para petani
  • Pembuatan Pilot Project, sehingga dapat memberikan contoh penerapan IoT yang sukses.

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan teknologi tak dapat terelakkan dan akan selalu menjadi bagian dari kehidupan. Sudah saatnya bagi calon perekayasa pertanian untuk mulai bergerak, mengamati keadaan pertanian saat ini, berinovasi serta terus mengembangkan potensi pertanian Indonesia yang dimiliki. Sekarang saatnya petani muda yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik demi memajukan pertanian Indonesia.


[1] Wilianto, W., & Kurniawan, A. (2018). Sejarah, cara kerja dan manfaat internet of things. Matrix: Jurnal Manajemen Teknologi dan Informatika8(2), 36-41.

[2] https://www.jagoanhosting.com/blog/pengertian-internet-of-things-iot/

[3] Putranto, R. A., dan Dini A. S. 2018.“Perlukah DUnia Pertanian Mengenal Internet of things”. Iribb, 6(2): 29-32.

[4] https://www.postscapes.com/greenhouse-climate-and-control-systems/

RUU Cipta Kerja dan “Nasib” Lingkungan Hidup Perkebunan

Hukum lingkungan merupakan salah satu hal terpenting yang menjadi dasar dan pedoman dari segala pengelolaan lingkungan hidup sehingga harus diperhatikan agar tercapai keberlanjutan lingkungan bagi kesejahteraan manusia. Aspek pengelolaan lingkungan hidup memiliki segi dan cakupan yang sangat luas, diantaranya:

  • Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
  • Penetapan perancangan tata ruang
  • Menerapkan sistem zona dan baku mutu lingkungan
  • Kebijakan pembuatan/penerapan AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan)
  • Perzinan
  • Penegakkan hukum (law enforcement)
  • Pendayagunaan dan pemberdayaan masyarakat, serta
  • Penanggulangan kerusakan lingkungan dan bencana alam

Dalam bidang pertanian khususnya perkebunan, terdapat UU NO 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang telah mengatur tata laksana penyelenggaraan usaha perkebunan mulai dari tahap perencanaan hingga peran masyarakat. Namun, dengan adanya RUU Cipta Kerja yang baru-baru ini menjadi perbincangan semua orang, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tersebut mengalami beberapa perubahan. Bahkan pasal penting yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup pun dihapuskan.

Pasal 30 RUU Cipta Kerja bidang Pertanian

telah mengubah dan menghapus beberapa pasal penting tentang perlindungan lingkungan. Diantaranya yaitu Pasal 30 Angka 1, Pasal 30 Angka 14, dan Pasal 30 Angka 24.

Pasal 30 Angka 1, merubah Pasal 14 dan menghapus Pasal 14 Ayat 2, menjadi "Penetapan batasan luas minimum dan maksimum penggunaan lahan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat tidak wajib mempertimbangkan aspek-aspek yang sebelumnya dianggap penting seperti ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat, kondisi geografis, dan pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang.
Pasal 30 Angka 14, menghapus Pasal 45 yang berisikan ketentuan mengenai kewajiban memiliki izin Lingkungan, kesesuaian RTRW, dan kesesuaian rencana perkebunan sebelum mendapatkan izin usaha perkebunan dihapus.
Pasal 30 Angka 24, menghapus Pasal 68 yang menjelaskan bahwa setelah memperoleh IUP, kewajiban membuat AMDAL, analisis risiko, pemantauan lingkungan hidup, dan kesanggupan penyediaan sarpras penanggulangan kebakaran dihapus.

!!! Pasal 30 Angka 1 !!!
apabila dinyatakan lolos untuk dijadikan Undang-Undang, maka akan berpotensi menimbulkan risiko yaitu pembangunan perkebunan tidak berpotensi lagi memandang daya dukung terhadap lingkungan, karena batas luasan lahan perkebunan dapat mengabaikan ketersediaan lahan, kesesuaian geografis dan agroklimat. Pembangunan perkebunan juga dapat dilakukan masif tanpa menerapkan aspek berkelanjutan, dan dalam jangka panjang dapat merusak lingkungan dan memperburuk luas lahan yang terdegradasi di Indonesia. Selain itu, pembangunan usaha perkebunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan juga dapat merusak keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Pasal 30 Angka 14 merupakan pasal yang MEMBALIK logika hukum lingkungan, dimana izin Usaha Perkebunan dapat diperoleh sebelum memenuhi persyaratan memiliki izin lingkungan, kesesuaian RTRW, dan kesesuaian rencana perkebunan. Dalam pasal ini tidak ada penjelasan batasan waktu untuk pemenuhan syarat-syarat tersebut, artinya pasal ini kembali berpotensi mengabaikan aspek lingkungan! Kelonggaran regulasi terkait izin perusahaan ini dikhawatirkan akan membuat perusahaan perkebunan melepas tanggung jawab atas lingkungan. Jika terjadi eksploitasi lahan yang tidak sesuai dengan kesesuaian tata ruang dan wilayah, dapat menimbulkan berbagai dampak seperti degradasi lahan dan erosi. Dari kedua dampak tadi apabila tidak segera diatasi, yang terjadi selanjutnya adalah bencana banjir dan longsor dapat terjadi dan pada akhirnya memperpanjang deretan masalah lingkungan di perkebunan.

Pasal 30 Angka 24 menghapus kewajiban AMDAL, analisis risiko lingkungan hidup, dan pemantauan lingkungan hidup. Padahal, AMDAL yang outputnya berupa Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dapat dikesampingkan dalam pelaksanaan operasional perkebunan. Apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka lingkungan perkebunan tidak dapat berkelanjutan dan pengusaha perkebunan dapat melepas tanggung jawabnya jika terjadi kerusakan lingkungan! Ya Tuhan…

Memang, pelaksanaan AMDAL memangkas biaya dan waktu yang tidak sedikit, dan apabila tidak dilakukan, maka pembukaan lahan dapat lebih cepat dilakukan dan lingkungan akan terkena dampak buruknya.

Kesimpulan: Tidak teridentifikasi adanya dampak positif terhadap lingkungan jika diberlakukannya RUU Cipta Kerja bidang Pertanian menjadi Undang-Undang.

Justru sebaliknya. Ditemukan banyak pelemahan perlindungan terhadap lingkungan hidup secara sistematis, dimulai dari saat penentuan luasan lahan perkebunan, saat pembuatan izin usaha perkebunan, hingga proses AMDAL pun diabaikan. Oleh karena itu, lebih baik RUU Cipta Kerja ini ditelaah kembali dan pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk mengesahkannya jika tidak ingin keberlangsungan lingkungan hidup dan kesejahteraan di Indonesia terancam.

Indasah. 2020. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Yogyakarta: Deepublish Publisher.

DILEMATIS: Konversi Lahan atau Krisis Pangan

Gambut merupakan jenis tanah yang terbentuk dari hasil akumulasi dari sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Lahan gambut di Indonesia memiliki potensi yang besar sebagai sumber penghasil pangan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki lahan gambut seluas 21 juta hektar atau 36 persen dari seluruh lahan gambut di dunia. Kekayaan lahan gambut harus dijaga dan dilestarikan karena gambut di Indonesia tergolong tua yaitu terbentuk dari 5000 tahun yang lalu dan mempunyaki kedalaman hingga 5 meter.

Alih fungsi lahan gambut merupakan perubahan fungsi dari lahan gambut yang pada umumnya tidak sesuai dengan fungsi awal lahan gambut sebagai penyeimbang ekosistem sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan. Seharusnya pengembangan lahan gambut dapat difokuskan pada gambut berketebalan sedang sehingga masih menyisakan lahan gambut sebagai penyeimbang ekologis.

Lahan gambut tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena:

  1. Lahan gambut memiliki kandungan bahan organik (karbon) yang sangat tinggi.
  2. Cadangan karbon di hutan gambut jauh lebih besar dibandingkan hutan tropis lainnya.
  3. Mudah terbakar karena tingginya kandungan bahan organik

Berkaca dari Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar pada masa Orde Baru yang berujung kegagalan akibat :
● Kurangnya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)
● Pelaksanaan proyek yang terburu-buru
● Pengelolaan lahan oleh pihak yang kurang ahli

Krisis Pangan merupakan keadaan dimana kebutuhan pangan lebih besar daripada ketersediaan pangan

Ketahanan Pangan adalah “Kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya…” (UU No.18 tahun 2012 )

Akibat pandemi COVID-19, pemerintah memutuskan untuk membuka 600 ribu hektar lahan gambut.
Lahan gambut ini kemudian disiapkan untuk menjadi lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia dan mencapai ketahanan pangan.
Pembukaan lahan gambut ini memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.


Sisi positif :

  1. Meningkatkan produksi pertanian di Indonesia untuk pemenuhan pangan.
  2. mengoptimalkan fungsi ekonomis dan sosial budaya dari yang awalnya hanya merupakan
    lahan tidur dengan fungsi ekologis.
  3. pertanian gambut lebih sustainable jika dibandingkan dengan pembakaran lahan gambut atau
    pembukaan pertambangan.
    Sisi negatif :
  4. butuh teknologi pengairan khusus
  5. varietas yang dapat ditanam terbatas karena keadaan tanah yang asam dan kesuburan rendah
  6. merugikan dalam aspek lingkungan

Budidaya di lahan gambut harus memperhatikan:
● Teknologi pengelolaan air yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman
● Pembuatan drainase mikro sedalam 10-50 cm untuk membuang kelebihan air, menciptakan
keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam
organik
● pH tanah gambut yang masam memerlukan upaya ameliorasi untuk meningkatkan pH
sehingga memperbaiki media perakaran tanaman.

Kesimpulan
Budidaya di lahan gambut memungkinkan, namun dengan tetap memperhatikan aspek lingkungannya. Berkaca pada proyek PLG yang lalu, diperlukan analisis AMDAL yang baik dan penerapan di lapangan pun harus tetap diperhatikan.

KASURA 3.0: Memperingati Hari Gizi Nasional ke-60

Tahukah kalian apa itu hari gizi?

Hari gizi adalah hari yang diperingati untuk menggalang kepedulian dan meningkatkan komitmen dari berbagai pihak, untuk bersama membangun gizi menuju bangsa yang sehat berprestasi melalui gizi seimbang dan produksi pangan berkelanjutan.

Hari gizi diperingati setiap tahunnya pada tanggal 25 Januari. Hal itu disebabkan ketika pada masa kemerdekaan Indonesia yaitu 17 Agustus 1945, gizi masyarakat Indonesia masih buruk. Kemudian ditunjuklah Prof. Poorwo Soedarmo (Bapak Gizi Indonesia) oleh Menteri Kesehatan J. Leimena sebagai ketua Lembaga Makanan Rakyat (LMR). Selanjutnya LMR membentuk Sekolah Juru Penerang Makanan pada tanggal 25 Januari 1951 dan karena jasa Sekolah Juru Penerang Makanan ini, maka setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai “Hari Gizi dan Makanan Nasional”.

Hari Gizi Nasional ke-60 ini bertemakan Gizi Optimal untuk Generasi Milenial, tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan generasi milenial untuk sadar gizi dan kesehatan, perlunya pengembangan SDM dalam pembangunan kesehatan yang berkelanjutan melalui perbaikan gizi masyarakat khususnya gizi pada remaja, dan Indonesia pada saat ini sedang dihadapi dengan masalah “triple burden” yaitu stunting (pendek) dan wasting (kurus) yang masih tinggi.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terdapat 3 diantara 10 balita mengalami stunting (pendek), 1 diantara 10 balita wasting (kurus), 1 diantara 10 balita obesitas, 1 diantara 2 ibu hamil mengalami anemia, serta 3 diantara 10 remaja mengalami anemia

(Riskesdas 2013-2018)

Apa itu GMO?

GMO (Genetically Modified Organism) adalah proses perubahan genetik dari suatu organisme dengan teknik rekayasa genetik. GMO telah dimanfaatkan dalam memodifikasi berbagai jenis produk pangan maupun non pangan. Terdapat beberapa pro dan kontra mengenai GMO

Sumber: medicalnewstoday.com

Faktanya, produk GMO yang akan dilepas ke masyarakat harus melewati serangkaian tes terlebih dahulu. Indonesia telah melakukan pengawasan GMO di bawah Kementerian Pertanian serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga produk GMO tetap berada dalam batas aman.

Tidak hanya pada manusia, peningkatan gizi pun perlu dilakukan pada tanaman, terutama tanaman pangan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan penggunaan pupuk dan biofortifikasi. Biofortifikasi adalah salah satu metode utama fortifikasi pangan dengan cara membiakkan tanaman untuk meningkatkan nilai nutrisinya, yang dapat dicapai dengan pemuliaan selektif konvensional. Contoh dari produk biofortifikasi adalah golden rice, mi jagung, garam, produk susu, dan lain sebagainya.

Selain itu, metode utama fortifikasi pangan adalah biologi sintetis serta fortifikasi komersial dan industri. Biologi sintetis adalah penambahan bakteri probiotik ke makanan. Fortifikasi komersial dan industri adalah makanan masak biasa, seperti tepung, beras, dan minyak.

Lalu apa yang telah dilakukan Indonesia?

Sejauh ini, Indonesia telah melakukan beberapa upaya, yaitu:

  1. mengadakan program pendidikan dan pelatihan gizi
  2. mengadakan program pengawasan makanan dan minuman
  3. mengadakan program penelitian dan pengembangan gizi
  4. mengadakan program diversifikasi pangan, serta program pembangunan lainnya di sektor pendidikan, kependudukan dan keluarga sejahtera, agama, industri, dan perdagangan

KASURA 2.0: Teknologi Pertanian

Kesejahteraan Petani

Sebagai negara agraris, proporsi terbesar penduduk Indonesia berada di sektor pertanian. Pelaksanaan pembangunan perekonomian nasional, pedesaan, dan perkotaan juga telah banyak menunjukkan peningkatan. Namun, masalah kemiskinan masih belum terpecahkan. Faktanya banyak orang kaya yang berasal dari petani dan banyak orang miskin yang juga dari petani. Kegiatan pembangunan telah berhasil meningkatkan produksi pertanian namun belum cukup mampu meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, dan penanggulangan kemiskinan di pedesaan.

“Petani dikatakan sejahtera jika mereka mengeluarkan modal rendah tetapi hasilnya tinggi”

Permasalahan yang Berhubungan dengan Kesejahteraan Petani

Masalah dalam bidang pertanian saat ini dapat mengganggu kesejahteraan petani, salah satunya adalah masalah teknologi. Teknologi pertanian di Indonesia sudah berkembang dari proses produksi dihulu hingga hilir. Berbagai macam prototipe alat dan mesin pertanian telah dihasilkan oleh Kementerian Pertanian. Di era revolusi industri 4.0, petani dituntut untuk memanfaatkan teknologi digital dalam mengelola usahataninya. Namun, akses terhadap teknologi yang terbatas dan minimnya pengetahuan menyebabkan petani sulit untuk menyesuaikan diri dengan teknologi yang ada. Kendala yang ada dalam pengaksesan teknologi tersebut diantaranya adalah:

  1. Kendala biaya yang dirasa mahal
    Banyak petani kecil yang terkendala dana dalam menggunakan teknologi untuk mengembangkan usahanya. Selain permodalan, produk yang keluar tidak mempertimbangkan penggunanya. Salah satunya adalah harus menggunakan smartphone, sehingga teknologi belum tepat sasaran.
  2. Kurangnya kapabilitas petani untuk memanfaatkan teknologi
    Kebanyakan petani kecil masih buta terhadap teknologi, namun saat ini banyak anak muda yang tertarik untuk berkecimpung di bidang pertanian. Permasalahan yang perlu ditekankan disini adalah banyaknya teknologi dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah belum tepat guna dan tepat sasaran. Masalah lainnya adalah petani kebanyakan berada di daerah pedalaman yang terkendala dengan jaringan dan tidak adanya pengawasan dan pembinaan secara terus menerus. Contohnya adalah adanya bantuan screenhouse kepada petani, namun saat dicek beberapa waktu kemudian, screenhouse yang ada ditinggalkan oleh petani tersebut karena ada kebingungan ditengah-tengah prosesnya.

Dari kendala-kendala tersebut, maka dihasilkan solusi beberapa solusi, yaitu diadakannya pencerdasan dan pemberdayaan petani yang primitif oleh pemerintah, dilakukannya pembinaan secara rutin, dan pengadaan teknologi yang memiliki ilmu dasar dan cara kerja yang mudah dipahami.

Permasalahan Teknologi pada Petani Sawah di Rancaekek

Dalam kajian ini, sampel yang diambil adalah petani di Rancaekek yang banyak terlibat dalam komoditas petani dan petani di Lembang yang banyak terlibat dalam komoditas hortikultura. Petani di Rancaekek mengalami permasalahan yang cukup banyak, seperti banjir, limbah pabrik dan perumahan, alih fungsi lahan serta teknologi pada proses penanaman, perawatan hingga penanaman padi. Berdasarkan masalah tersebut, kajian ini difokuskan pada petani Rancaekek yang mengalami permasalahan di bidang teknologi pertanian. Lahan pertanian sawah di Rancaekek tidak berbentuk seperti terasering, melainkan berupa hamparan yang luas. Sehingga teknologi yang biasa digunakan dalam tahap pembudidayaan padi adalah:

  1. Pengolahan tanah dan penanaman: Traktor
    Masalah dari tahap ini adalah penggunaan traktor dalam pengolahan tanah dan penanaman menjadi tidak efektif ketika musim kemarau
  2. Perawatan: Penyemprot pupuk dan pestisida
    Masalah dari tahap ini adalah cara penggunaan alat penyemprot pupuk dan pestisida dengan digendong membuat banyak petani mengeluh
  3. Pemanenan: Alat rontok padi
    Masalah dari tahap ini adalah hasil dari penggunaan alat ini biasanya menyebabkan padi menjadi terbelah dua

Fokus utama kajian ini tidak hanya teknologi dengan mekanisasi, namun dapat juga berupa cara/metode baru untuk meminimalisir cost dan waktu. Waktu dan biaya mesin/tenaga kerja dari proses penanaman hingga panen dapat dianalisis dengan Value Stream Mapping. Value Stream Mapping adalah alat untuk mengidentifikasi dan memetakan aliran nilai dan pemborosan yang terjadi di suatu sistem.

Dari VSM diatas, dapat disimpulkan waktu yang dibutuhkan pada setiap proses dari mulai penanaman, perawatan dan penanaman padi adalah 2796 hours atau setara dengan 117 hari dengan biaya mesin/tenaga kerja +/- Rp1.807.000,00. Sehingga dibutuhkan suatu inovasi teknologi di bidang pertanian untuk mengefektifkan waktu, biaya dan lain sebagainya. Bentuk inovasi pengembangan teknologinya adalah Penggantian,Perubahan, Penambahan, Penyusunan kembali, Penghapusan dan Penguatan. Kebutuhan fungsi teknologi yang dibutuhkan petani Rancaekek dalam mengelola padi adalah

Contoh teknologi usulan yang biasa digunakan:

Analisis VSM setelah diterapkannya teknologi pertanian seperti diatas adalah:

Setelah teknologi tersebut diterapkan maka dapat memangkas waktu dan biaya yang dibutuhkan menjadi 2760 jam atau setara 115 hari dengan biaya mesin/tenaga kerja +/- Rp 1.045.000,00

Kesimpulan dan Inovasi

  1. Kondisi petani di Rancaekek:
    a. Pembajakan sawah sudah baik, namun ada kendala diharga sewa traktor yang tinggi.
    b. Panen sudah baik, pemerintah memberikan tresher (alat pemisah gabah dengan bulir padi).
    c. Fokus kajian di perawatan, khususnya pemupukan dan pemberian pestisida (masih menggunakan alat yang digendong).
  2. Tidak semua proses dalam pertanian cocok untuk disisipkan teknologi industri 4.0, bisa jadi jika semua aktivitas disisipkan teknologi industri 4.0, malah menambah biaya.
  3. Teknologi yang dikembangkan sebaiknya berakar dari kebutuhan. Misal masalah pupuk yang berkilo-kilo harus digendong oleh petani, mungkin dapat digunakan roda untuk mobilisasi pupuk.
  4. Moderator sudah mengecilkan proses perawatan menjadi 2 sub komponen. Namun perlu dijabarkan lagi penggunaan waktu, kuantitas air, atau cost dari setiap subkomponen tersebut, sehingga kita tahu tingkat kepentingan masalah. Mana yang perlu diselesaikan terlebih dahulu (prioritas).

Ide/Inovasi

  1. Teknologi dalam pemberian pestisida dilihat dari fisik tanaman. Contoh aplikasi yang sudah ada adalah Neurafarm (Sensor fisik).
  2. Perlu dihubungkan pertanian dengan SIG (Sistem Informasi Geografis).
  3. Alat yang digendong perlu diganti dengan alat penyemprot dari luar/pinggir sawah (jarak cukup jauh dari tanaman, misal dengan memanfaatkan tekanan).
  4. Untuk luasan lahan besar dengan pelaku pertanian sedikit, penggunaan drone cukup baik. Selain alat, penggunaan sistem tanam jajar legowo juga cocok untuk mengatasi serangan hama.
  5. Kita dapat menggunakan biopestisida dibanding dengan pestisida biasa, karena lebih long lasting.
  6. Perlu dilakukan rekayasa sistem kerja, yaitu dengan mendesain dan menerapkan sistem kerja yang ergonomi, agar dapat meningkatkan produktivitas pekerja/petani.
  7. Cakupan kita adalah petani Rancaekek. Kemarin sebelumnya sudah wawancara, dimana aktivitas perawatanlah yang dapat dikembangkan, khususnya penebaran pupuk dan pestisida. Cara yang mungkin diterapkan adalah
    a. High tech : drone
    b. Low tech : sprinkle
    Inovasi sprinkle disini yaitu dapat menyebar pupuk dan pestisida dengan merata di lahan (kemungkinan butuh sensor). Lalu dapat digunakan baik untuk pupuk maupun untuk pestisida (dual fungsi).